masukkan script iklan disini
![]() |
| Ilustrasi: pixabay.com |
Oleh: Ersal
Lagi, UKT telah jadikan
mahasiswa korbannya, dari lahirnya UU No. 12 Tahun 2012 (UUPT) yang menjadi
payung hukum pendidikan dalam menjalankan sistemnya. Dewan perwakilan Rakyat
dan Presiden Republik Indonesia sebagai yang menyetujui lahirnya UU itu. Melalui
UU itu, setiap Pendidikan Tinggi Negri lalu memakai sistem Baiaya Kuliah
Tunggal (BKT) - Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan payung hukum yang tertera pada
Pasal 85 ayat 2 dalam UU No. 12 Tahun 2012; “pendanaan pendidikan tinggi dapat
juga bersumber dari biaya pendidikan
yang di tanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua
Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.”
BKT-UKT katanya sebagai
subsisdi silang, yang dimana dengan pengkategorian tersebut dari
2013 yang hanya ada 2 kategori, lalu 2015 ada 3 kategori, dan kemudian
2017 ada 5 kategori. Jadi si kaya membantu si miskin dengan menempatkan si
miskin di kategori 1 atau 2 yang memang rendah UKT-nya. Namun ketaksesuaian
penerapan UKT telah terdapat di lapangan. Sebenarnyanya dalam menentukan UKT
mahasiswa itu dilihat dari kondisi ekonomi mahasiswa “kata UUPT.”
Di kampus saya yang
berperdaban, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) telah terdapat
beberapa mahasiswa Fakultas adab yang mersa UKT terlalu tinggi bagi kondisi
perekonomian keluarganya.
Pertama,
Mahasiswa Fakultas adab jurusan Ilmu Perpustakaan angkatan 2017. Saat ditanya
persoalan biaya UKT-nya, ia berkata; “kedua orang tua saya sangat kewalahan
dalam mencarikan dana untuk saya tetap kuliah,” perkerjaanya cuman buruh tani dengan
pendapatan tidak menetu, ditambah lagi
ada satu adiknya juga yang duduk di bangku sekolah mengah atas, tapi
kenapa dapat kategori 3 dengan Rp. 1.100,00.
Kedua,
masih mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan, namanya Hasrullah. Saat ditanya
mengenai pembayaran UKT-nya, katanya; orang tuanya sangat merasa berat dengan
pembayaran UKT-nya. Itu karna pekerjaan bapaknya cuman seorang sopir ambulance
dengan pendapatan 450 ribu perbulan. Namun ia mendapatkan kategori tiga Rp.1.100,00.
Ketiga,
mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, namanya Baharullah. Katanya tentang
UKT; orang tuanya sibuk meminjam sana sini hanya untuk membayarkan uang
kuliahnya. Melihat bapaknya seorang buruh pengrajin kapal yang pendapatannya
tidak menetu, ibunya cuman sebagai ibu rumah tangga, tapi malah dapat kategori
tiga Rp. 1.100.00.
Dari beberapa Mahasiswa
diatas yang ditanyakan mengenai kondisi keluarganya, itu sangat membuat
keharuan dalam lubuk hati. Bagaimana tidak, dengan kondisi keluarganya yang
tidak mengaharuskan dia untuk diberatkan biaya pendidikan (UKT) yang tinggi,
tapi malah mendapat kategori tinggi. Sistem UKT telah hadir untuk membantu atau
malah menjadikan mahasiswa lebih bermasalah. Kalau melihat dari beberapa
mahasiswa diatas memang peangaplikasian dari sitemnya sangatlah bermasalah.
Sebenarnya masih ada
beberapa mahasiswa di fakultas UIN sejajaran yang saya dapat UKT nya berat
untuk dibayarnya. Namun cukup tiga orang diatas yang jadi simbol dari kerancuan
pemaparan sistem UKT. Dari tanggal 23 januari - 16 februari adalah jadwal
pembayaran UKT yang ditetapkan birokrasi UIN Alauddin Makssar, gemuruh suara
dari mahaiswa yang merasa keberatan dengan UKT-nya kembali berusaha untuk
mencari beberapa cara untuk dapat membayar UKT.
Adapun mahasiswa yang
terbangun kesadarannya, resah melihat kondisi sistem UKT yang telah memperkosa
si miskin, dia membantu dengan membuka donasi bantuan dana untuk membantu mahasiswa
yang sulit membayar UKT-nya.
Para Birokrasi kampus
adalah orang yang tinggi sekolahnya bukan? Tapi kalau yang lebih sadar dalam
permasalahan ini adalah mahasiswa. Lantas mau diapakan gelar dari
petinggi-petinggi kampus dan juga para pemimpin-pemimpin negara yang duduk di
singgasana? Katanya sebagai pemimpin dia membawa kepentingan masyrakat luas? Namun
upaya liberalisasi pendidikan, sekularisasi, dan privatisasi semakin di buka.
Apakah simiskin akan di biarkan untuk terus miskin? Apakah Indonesia bisa lebih
berkembang dengan pendidikan mahal? Kalau iya wajar pendidikan yang semakin
kesini semakin jauh dari “Roh Pendidikan.”

