Iklan

UKT mencekik, Si Miskin Stop Kuliah

Lapmi Ukkiri
08 February 2018
Last Updated 2020-06-23T04:28:26Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini

Ilustrasi: pixabay.com
Oleh: Ersal

Lagi, UKT telah jadikan mahasiswa korbannya, dari lahirnya UU No. 12 Tahun 2012 (UUPT) yang menjadi payung hukum pendidikan dalam menjalankan sistemnya. Dewan perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia sebagai yang menyetujui lahirnya UU itu. Melalui UU itu, setiap Pendidikan Tinggi Negri lalu memakai sistem Baiaya Kuliah Tunggal (BKT) - Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan payung hukum yang tertera pada Pasal 85 ayat 2 dalam UU No. 12 Tahun 2012; “pendanaan pendidikan tinggi dapat juga bersumber dari  biaya pendidikan yang di tanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.”

BKT-UKT katanya sebagai subsisdi silang, yang dimana dengan pengkategorian tersebut  dari  2013 yang hanya ada 2 kategori, lalu 2015 ada 3 kategori, dan kemudian 2017 ada 5 kategori. Jadi si kaya membantu si miskin dengan menempatkan si miskin di kategori 1 atau 2 yang memang rendah UKT-nya. Namun ketaksesuaian penerapan UKT telah terdapat di lapangan. Sebenarnyanya dalam menentukan UKT mahasiswa itu dilihat dari kondisi ekonomi mahasiswa “kata UUPT.”

Di kampus saya yang berperdaban, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) telah terdapat beberapa mahasiswa Fakultas adab yang mersa UKT terlalu tinggi bagi kondisi perekonomian keluarganya.

Pertama, Mahasiswa Fakultas adab jurusan Ilmu Perpustakaan angkatan 2017. Saat ditanya persoalan biaya UKT-nya, ia berkata; “kedua orang tua saya sangat kewalahan dalam mencarikan dana untuk saya tetap kuliah,” perkerjaanya cuman buruh tani dengan pendapatan tidak menetu, ditambah lagi  ada satu adiknya juga yang duduk di bangku sekolah mengah atas, tapi kenapa dapat kategori 3 dengan Rp. 1.100,00.

Kedua, masih mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan, namanya Hasrullah. Saat ditanya mengenai pembayaran UKT-nya, katanya; orang tuanya sangat merasa berat dengan pembayaran UKT-nya. Itu karna pekerjaan bapaknya cuman seorang sopir ambulance dengan pendapatan 450 ribu perbulan. Namun ia mendapatkan kategori tiga Rp.1.100,00.

Ketiga, mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, namanya Baharullah. Katanya tentang UKT; orang tuanya sibuk meminjam sana sini hanya untuk membayarkan uang kuliahnya. Melihat bapaknya seorang buruh pengrajin kapal yang pendapatannya tidak menetu, ibunya cuman sebagai ibu rumah tangga, tapi malah dapat kategori tiga Rp. 1.100.00.

Dari beberapa Mahasiswa diatas yang ditanyakan mengenai kondisi keluarganya, itu sangat membuat keharuan dalam lubuk hati. Bagaimana tidak, dengan kondisi keluarganya yang tidak mengaharuskan dia untuk diberatkan biaya pendidikan (UKT) yang tinggi, tapi malah mendapat kategori tinggi. Sistem UKT telah hadir untuk membantu atau malah menjadikan mahasiswa lebih bermasalah. Kalau melihat dari beberapa mahasiswa diatas memang peangaplikasian dari sitemnya sangatlah bermasalah.

Sebenarnya masih ada beberapa mahasiswa di fakultas UIN sejajaran yang saya dapat UKT nya berat untuk dibayarnya. Namun cukup tiga orang diatas yang jadi simbol dari kerancuan pemaparan sistem UKT. Dari tanggal 23 januari - 16 februari adalah jadwal pembayaran UKT yang ditetapkan birokrasi UIN Alauddin Makssar, gemuruh suara dari mahaiswa yang merasa keberatan dengan UKT-nya kembali berusaha untuk mencari beberapa cara untuk dapat membayar UKT.

Adapun mahasiswa yang terbangun kesadarannya, resah melihat kondisi sistem UKT yang telah memperkosa si miskin, dia membantu dengan membuka donasi bantuan dana untuk membantu mahasiswa yang sulit membayar UKT-nya.

Para Birokrasi kampus adalah orang yang tinggi sekolahnya bukan? Tapi kalau yang lebih sadar dalam permasalahan ini adalah mahasiswa. Lantas mau diapakan gelar dari petinggi-petinggi kampus dan juga para pemimpin-pemimpin negara yang duduk di singgasana? Katanya sebagai pemimpin dia membawa kepentingan masyrakat luas? Namun upaya liberalisasi pendidikan, sekularisasi, dan privatisasi semakin di buka. Apakah simiskin akan di biarkan untuk terus miskin? Apakah Indonesia bisa lebih berkembang dengan pendidikan mahal? Kalau iya wajar pendidikan yang semakin kesini semakin jauh dari “Roh Pendidikan.” 
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl