masukkan script iklan disini
Oleh: Caribo & Saputra
Konon, organisasi adalah wadah bagi para mahasiswa untuk memantik apa yang belum ia tuntaskan di dunia akademik, organisisai sebagai tempat paling mutakhir yang dituju mahasiswa untuk mengeksplor cita-cita dan menjawab ingatan-ingatan yang mungkin sedang pasif-pasifnya di telan zaman yang serba Instan ini. Organisasi bagi mahasiswa seumpama dewa penyelamat bagi masyarakat Yunani kuno, ya. Buah manis dari organisasi adalah ketika parah mahasiswa mampu bersimpati pada kebijakan dan realitas sosial yang tidak berpihak pada masarakat akar rumput.
Sejarah tak pernah mengingkari itu. Namun naaasnya di era ini organisasi tak lagi seperti dewa penyelamat yang dibayangkan di atas, organisasi teralienasi dari fitrahnya sendiri sebagai wadah memantik nalar kritis dan pengembangan softskill mahasiswa. Akhir-akhir ini saya sering termenung bukan karena memikirkan romansa yang sedang pupus di tengah jalan, tapi kenapa dan apa yang terjadi sehingga mahasiswa enggan untuk berorganisasi?
Dengan perhelatan mitra diskusi sesama kawan-kawan di kampus dan di imbangi realitas keterlibatan saya di organisasi saat ini, akhirnya saya sampai pada titik kesimpulan paling akhir bahwa senioritas adalah momok paling horor bagi organisasi saat ini.
Senioritas dengan Corak Hegemoninya
Jikalau Uskup Agung dengan frasanya "vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), maka dalam organisasi "suara senior adalah suara Tuhan" yang patut di turuti tanpa memberi kesempatan untuk membantah.
Eksploitasi dalam organisasi oleh oknum senior merupakan hal lazim yang sering kita temui di organisasi internal maupun eksternal kampus. Naasnya, tidak ada satupun yang berani speak up dengan dalih tawadhu kepada yang lebih tua. Menurut saya sikap tawadhu dalam kasus itu sekadar ketidakberdayaan dari pengurus organisasi saat ini untuk menutupi ketakutannya menentang konstruk senioritas yang beranak-pinak sejak zaman baehula itu.
Ketika kekuasaan dan pengaruh digunakan untuk mempertahankan dominasi konstruk senioritas bukan untuk membina dan memberdayakan organisasi, maka ruang tumbuh bagi organisasi akan menjadi sempit. Parah senior seharusnya menjadi promotor yang mendorong kemajuan dalam organisasi, bukan alat untuk mengontrol dan memanipulasi arah organisasi demi kepentingan pribadi atau kelompok lain di luar organisasi itu.
Ketika struktur kelembagaan organisasi dibatasi oleh kepentingan mereka yang punya power, maka esensi dari organisasi yang seharusnya sebagai wadah belajar, berproses dan bersuara akan menjadi hilang ditelan bayang-bayang ketakutan. Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen dalam organisasi untuk bersikap kritis dan berani melakukan perlawanan terhadap praktik-praktik eksploitatif, demi menjaga independensi dan marwah kelembagaan mahasiswa.
Senioritas Berlebihan Menghambat Keberlangsungan Organisasi
Fenomena senioritas ini sudah menjadi hal yang lumrah di berbagai struktur organisasi baik intra maupun ektra kampus sehingga menjadi bias dan berakar. Pierre Bourdieu seorang sosiolog asal Prancis dalam teorinya "kapital simbolik dan kapital sosial" membahas tentang fenomena ini. Ada segelintir orang yang di luar dari struktural akan mampu menghegemoni keputusan atau kebijakan dalam suatu struktur, hal itu di karenakan adanya habitus, budaya dan dominasi.
Melawan bukan berarti tak bermoral terhadap yang lebih tua. Seharusnya dalam struktur keorganisasian pemimpin organisasilah yang punya hak penuh dan tanggung jawab atas berlangsungnya organisasi, bukan berlindung di bawah ketiak senior. Maju atau mandeknya sebuah organisasi tergantung dari pimpinan dan anggota yang sedang menjalankan roda manajemennya, bukan orang-orang yang di luar struktur organisasi (senior).
Perlu diketahui, ketidakmampuan pengurus dalam menjalankan roda organisasi, disebabkan oleh intervensi di luar struktur, sebab akan bertantantangan dengan cita-cita yang di bangun sejak awal kepengurusan. Lebih ironisnya, intervensi-intervensi ke ranah keputusan dan kebijakan. Ini sama halnya mematikan leadership dalam roda organisasi. Maka perlu untuk di pertimbangkan hal-hal semacam itu demi menjaga nilai independen pengurus dan keberlangsungan sebuah organisasi.
Introspeksi dan Melawan
Tak ada yang lebih baik daripada berpijak di atas keputusan sendiri. Kita yang berproses, kita yang menjalankan. Bukan mereka. Sampai kapan harus diam? Bukannya tujuan kita berorganisasi untuk memecahkan problem solving yang kita alami sendiri?
Mungkin saatnya kita perlu membuka mata dan bangkit dari lingkaran setan itu. Momok senioritas dalam organisasi bukanlah masalah yang dapat di selesaikan dengan solusi yang instan. Namun refleksi dan evaluasi terhadap budaya ini sangatlah penting untuk menciptakan lingkungan organisasi yang waras. Kita perlu berembuk bersama melalui narasi-narasi yang mampu mendobrak budaya itu sampai ke akar-akarnya.
Kita kembalikan organisasi sebagai tempat yang seharusnya memberikan ruang bagi setiap individu untuk mekar dan bersinar, tanpa adanya penghalang oleh pihak yang dominan, sebab organisasi yang sehat seharusnya tidak hanya memasok pengetahuan semata, tapi juga mampu membentuk mahasiswa mandiri untuk hidup dan berdiri di atas keputusan dan kebijakannya sendiri.
Tulisan ini spenuhnya tanggung jawab penulis.