masukkan script iklan disini
![]() |
| ilustrasi: net |
Oleh: Rifay Rahman
Ahhh, Januari, saat paling sempurna
untuk menghabiskan waktu di beranda rumah. Menikmati hujan yang sedang gencar-gencarnya.
Peduli deras atau rintik, tanah dan rumput yang basah akan tetap sama baunya.
Selalu ada rasa yang ia bawa, tapi kali ini bukan tentang kenangan yang
diselimuti genangan, bukan pula tentang rindu yang usang. Ini tentang Berencet
yang bernama Mencret bersama istrinya, Muncrat. Dua sejoli yang sedang kalang
kabut di balik dinginnya lembah gunung Bawakaraeng.
Mereka yang terpisah dari rombongannya
harus menempuh hidup berdua, mungkin untuk sehari ke depan, mungkin untuk
seminggu ke depan, mungkin untuk sebulan ke depan, dan mungkin untuk selamanya.
Ini hanya soal waktu dan keadaan, yang senantiasa berjalan. Memilih siapa yang
harus dipertemukan, dan siapa yang tiba giliran untuk dipisahkan. Tepat di
bawah pohon pinus yang diselimuti kabut Bawakaraeng, Mencret memeluk Istrinya
erat-erat. Berusaha memberikan kehangatan kepada Mencret, melawan dinginnya
kabut yang beriringan rintik hujan di gunung itu.
Istri Mencret sedang hamil tua. Maka ia
berpikir di bawah pohon pinus itulah ia akan menemani Muncrat sampai bertelur,
menunggu anak-anaknya menetas, menunggu ia akan menjadi ayah.
“Hoii.. Sedang apa kalian?!” Teriak
burung Berkik betina dari atas dahan.
“Aku sedang menemani istriku, dia akan
bertelur”
“Jangan di sini, ini wilayahku. Aku juga
ingin bertelur, aku tak ingin manusia malah membuatkan kita sinetron Anak Yang
Tertukar versi burung. Pergi kalian!”
Mencret dan Muncrat beranjak dari
tempatnya, mereka kembali menyusuri tempat yang tepat di gunung Bawakaraeng
untuk Muncrat bertelur. Kabut semakin menebal, jarak pandang semakin berkurang,
mereka lupa membawa headlamp. Hehh?
Mereka tak habis pikir akan sesulit ini untuk menemukan tempat bernaung di
tempat nan luas ini. Jika bukan karena takut akan pemangsa, maka tempat itu ada
pemiliknya.
“Untuk bertelur saja susahnya minta
ampun!” Gerutu Muncrat di sela perjalanan.
“Jangan begitu, kau hanya bertelur,
bukan melahirkan setidaknya kau tidak perlu di caesar. Ini hanya persoalan tempat, bersabarlah!”
“Apa? Tepar? Kau bicara apa Muncrat?
Sudah pasti setelah melahirkan akan tepar, bertelur pun demikian.”
“Caesar
sayang, itu adalah cara melahirkan yang rumit yang dilakukan oleh spesies
yang bernama manusia. Perutnya dirobek!” Mencret menakuti istrinya ketika
menyebutkan kata robek dengan ekspresi tercengang mirip cacing kelaparan di
tengah padang yang gersang, sendirian, tak ada kawan, hanya doa yang
dipanjatkan, berharap Tuhan memberi keajaiban, paling tidak seonggok makanan,
apa saja yang penting makanan, untuk esok hidup lebih terang dan dihiasi
senyuman. Panjanna!
Muncrat
kembali melanjutkan perjalanan, ia terbayang bagaimana jika ia harus di-tepar
seperti yang diceritakan suaminya. Ia tak mampu membayangkan jika perut kecilnya
harus dirobek lalu dikeluarkannya telur-telur yang ada di perutnya. “Tapi siapa
yang akan men-teparku? Mana ada burung yang berprofesi sebagai bidan?” Pikir
Mencret yang membuatnya sedikit bernafas lega.
Senja telah berlalu, meski tak terlihat
dari tempat Mencret dan istrinya karena tebalnya kabut. Maka sampailah mereka
pada sebuah pohon tambara, sepertinya tempat ini tidak ada pemiliknya, pikir
Mencret.
“Kita menetap di sini sayang.” Mencret
merangkul istinya dan berusaha membantunya untuk duduk.
“Kenapa di pohon tambara?” Tanya istrinya
sambil meluruskan kakinya.
“Kadde kuassengko racun, buntala pabengo-bengo, mangngalle tonja,
tambara' ri Tondongkura” Mencret
melantunkan syair sambil menggoyangkan ekornya.
“Kau bicara apa?” Tanya Muncrat sambil
tertawa geli melihat tingkah Mencret
“Kau tak tahu syair itu?”
Mencret menggelengkan kepala.
“Itu syair dari Masyarakat Tondongkura,
mereka menggunakan akar tambara sebagai obat, baik itu untuk penetralisir racun
maupun penyakit lainnya.”
Mencret menegakkan posisi duduknya,
merapatkan tubuhnya ke tubuh Muncrat. Ditempelkannya tangannya ke kening
Muncrat. Ia tak mengerti apa yang dikatakan suaminya barusan.
“Kau semakin aneh, tapi kau semakin cerdas”
Muncrat menyandarkan kepala di bahu Muncrat.
“Tentu saja, jauh sebelum kita bertemu
aku telah melalang buana ke berbagai belahan dunia.”
“Ceritakan lagi kisah tentang manusia,
sayang!”
“Manusia itu makhluk aneh sayang, kata
binatang lain mereka adalah makhluk yang menduduki puncak rantai makanan. Tapi
aku tidak setuju, mereka adalah pecundang, mereka menggunakan senjata untuk
membunuh, untuk memangsa. Mereka tidak pantas berada di puncak rantai makanan.”
“Bukankah kita memangsa dengan senjata
juga, kau memangsa siput dengan paruhmu, ular memangsa tikus dengan bisa-nya,
harimau memangsa rusa dengan cakar dan taringnya. Kita semua menggunakan
senjata, sayang.”
“Tapi kita menggunakan senjata original, istriku. Ori..ori, senjata
kita adalah murni dari rahmat Tuhan yang melekat di tubuh kita. Sedangkan
mereka? Mereka menggunakan tombak, anak panah, bahkan senapan, mereka itu tidak
jantan, pecundang. Saat kau bertemu mereka, berlarilah sekencang-kencangnya,
jauhi mereka. Manusia juga berpolitik, mereka itu kotor.”
“Politik? Apa itu?”
“Sebenarnya aku juga tak tahu, aku hanya
mendengar kata itu dari mulut binatang lain. Tapi justru bersyukurlah kita
karena tidak tahu, bukan begitu, istriku? Mereka selalu mengatakan, ‘di bawah
kulit kita semua sama’. Cuiihhh, itu ungkapan paling munafik. Justru di bawah
kulitlah mereka berbeda, di bawah kulit hati mereka munafik, di bawah kulit
mereka semua rakus. Aku ingin bertanya, apakah aku ini tampan, sayang?”
“Entahlah, sayang. Aku bahkan tak
memiliki tolak ukur sebuah ketampanan.”
“Itulah maksudku, istriku. Kita tak
mengenal kata tampan dan cantik, karena kita tak memiliki tolak ukur. Tapi
manusia? Kepala mereka telah diracuni, mereka dibius dengan berbagai tolak
ukur, termasuk ketampanan dan kecantikan. Orang kulit putih tampan dan cantik,
sementara orang kulit hitam sebaliknya. Ahhh, mereka telah dibutakan media.”
“Tapi tunggu, dari tadi kau memanggilku
istri, apa itu?”
“Ohahaha..itu adalah istilah yang
digunakan manusia jantan terhadap manusia betina setelah mereka menikah. Pasti
kau ingin bertanya soal menikah, bukan? Menikah adalah proses rumit yang
dilakukan manusia untuk melegalkan status hubungan mereka.”
“Nikahi aku, bang!” Muncrat memelas.
“Kau gila, kita hanya kawin, tidak
menikah. Sudahlah, aku tak ingin seperti manusia. Aku bangga menjadi binatang.”
Mencret kemudian berbaring.
Mencret memilih untuk segera tertidur,
ia tak ingin Muncrat kembali meminta untuk dinikahi, bisa runyam jika ia
melanjutkan pembicaraan. Ia paham betul tingkah betina. Ada ada saja si Muncrat.
Alauddin,
Ranum Malam Tepi Januari 2017

