Iklan

TENTANG BERENCET SOAL MANUSIA

Lapmi Ukkiri
30 January 2017
Last Updated 2020-06-23T04:24:28Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini
ilustrasi: net
Oleh: Rifay Rahman

Ahhh, Januari, saat paling sempurna untuk menghabiskan waktu di beranda rumah. Menikmati hujan yang sedang gencar-gencarnya. Peduli deras atau rintik, tanah dan rumput yang basah akan tetap sama baunya. Selalu ada rasa yang ia bawa, tapi kali ini bukan tentang kenangan yang diselimuti genangan, bukan pula tentang rindu yang usang. Ini tentang Berencet yang bernama Mencret bersama istrinya, Muncrat. Dua sejoli yang sedang kalang kabut di balik dinginnya lembah gunung Bawakaraeng.

Mereka yang terpisah dari rombongannya harus menempuh hidup berdua, mungkin untuk sehari ke depan, mungkin untuk seminggu ke depan, mungkin untuk sebulan ke depan, dan mungkin untuk selamanya. Ini hanya soal waktu dan keadaan, yang senantiasa berjalan. Memilih siapa yang harus dipertemukan, dan siapa yang tiba giliran untuk dipisahkan. Tepat di bawah pohon pinus yang diselimuti kabut Bawakaraeng, Mencret memeluk Istrinya erat-erat. Berusaha memberikan kehangatan kepada Mencret, melawan dinginnya kabut yang beriringan rintik hujan di gunung itu.

Istri Mencret sedang hamil tua. Maka ia berpikir di bawah pohon pinus itulah ia akan menemani Muncrat sampai bertelur, menunggu anak-anaknya menetas, menunggu ia akan menjadi ayah.

“Hoii.. Sedang apa kalian?!” Teriak burung Berkik betina dari atas dahan.

“Aku sedang menemani istriku, dia akan bertelur”

“Jangan di sini, ini wilayahku. Aku juga ingin bertelur, aku tak ingin manusia malah membuatkan kita sinetron Anak Yang Tertukar versi burung. Pergi kalian!”

Mencret dan Muncrat beranjak dari tempatnya, mereka kembali menyusuri tempat yang tepat di gunung Bawakaraeng untuk Muncrat bertelur. Kabut semakin menebal, jarak pandang semakin berkurang, mereka lupa membawa headlamp. Hehh? Mereka tak habis pikir akan sesulit ini untuk menemukan tempat bernaung di tempat nan luas ini. Jika bukan karena takut akan pemangsa, maka tempat itu ada pemiliknya.

“Untuk bertelur saja susahnya minta ampun!” Gerutu Muncrat di sela perjalanan.

“Jangan begitu, kau hanya bertelur, bukan melahirkan setidaknya kau tidak perlu di caesar. Ini hanya persoalan tempat, bersabarlah!

“Apa? Tepar? Kau bicara apa Muncrat? Sudah pasti setelah melahirkan akan tepar, bertelur pun demikian.”

Caesar sayang, itu adalah cara melahirkan yang rumit yang dilakukan oleh spesies yang bernama manusia. Perutnya dirobek!” Mencret menakuti istrinya ketika menyebutkan kata robek dengan ekspresi tercengang mirip cacing kelaparan di tengah padang yang gersang, sendirian, tak ada kawan, hanya doa yang dipanjatkan, berharap Tuhan memberi keajaiban, paling tidak seonggok makanan, apa saja yang penting makanan, untuk esok hidup lebih terang dan dihiasi senyuman. Panjanna!
           
           Muncrat kembali melanjutkan perjalanan, ia terbayang bagaimana jika ia harus di-tepar seperti yang diceritakan suaminya. Ia tak mampu membayangkan jika perut kecilnya harus dirobek lalu dikeluarkannya telur-telur yang ada di perutnya. “Tapi siapa yang akan men-teparku? Mana ada burung yang berprofesi sebagai bidan?” Pikir Mencret yang membuatnya sedikit bernafas lega.

Senja telah berlalu, meski tak terlihat dari tempat Mencret dan istrinya karena tebalnya kabut. Maka sampailah mereka pada sebuah pohon tambara, sepertinya tempat ini tidak ada pemiliknya, pikir Mencret.

“Kita menetap di sini sayang.” Mencret merangkul istinya dan berusaha membantunya untuk duduk.
       
        “Kenapa di pohon tambara?” Tanya istrinya sambil meluruskan kakinya.

Kadde kuassengko racun, buntala pabengo-bengo, mangngalle tonja, tambara' ri Tondongkura”  Mencret melantunkan syair sambil menggoyangkan ekornya.

“Kau bicara apa?” Tanya Muncrat sambil tertawa geli melihat tingkah Mencret

“Kau tak tahu syair itu?”

Mencret menggelengkan kepala.

“Itu syair dari Masyarakat Tondongkura, mereka menggunakan akar tambara sebagai obat, baik itu untuk penetralisir racun maupun penyakit lainnya.”

Mencret menegakkan posisi duduknya, merapatkan tubuhnya ke tubuh Muncrat. Ditempelkannya tangannya ke kening Muncrat. Ia tak mengerti apa yang dikatakan suaminya barusan.

“Kau semakin aneh, tapi kau semakin cerdas” Muncrat menyandarkan kepala di bahu Muncrat.

“Tentu saja, jauh sebelum kita bertemu aku telah melalang buana ke berbagai belahan dunia.”

“Ceritakan lagi kisah tentang manusia, sayang!”

“Manusia itu makhluk aneh sayang, kata binatang lain mereka adalah makhluk yang menduduki puncak rantai makanan. Tapi aku tidak setuju, mereka adalah pecundang, mereka menggunakan senjata untuk membunuh, untuk memangsa. Mereka tidak pantas berada di puncak rantai makanan.”

“Bukankah kita memangsa dengan senjata juga, kau memangsa siput dengan paruhmu, ular memangsa tikus dengan bisa-nya, harimau memangsa rusa dengan cakar dan taringnya. Kita semua menggunakan senjata, sayang.”

“Tapi kita menggunakan senjata original, istriku. Ori..ori, senjata kita adalah murni dari rahmat Tuhan yang melekat di tubuh kita. Sedangkan mereka? Mereka menggunakan tombak, anak panah, bahkan senapan, mereka itu tidak jantan, pecundang. Saat kau bertemu mereka, berlarilah sekencang-kencangnya, jauhi mereka. Manusia juga berpolitik, mereka itu kotor.”

“Politik? Apa itu?”

“Sebenarnya aku juga tak tahu, aku hanya mendengar kata itu dari mulut binatang lain. Tapi justru bersyukurlah kita karena tidak tahu, bukan begitu, istriku? Mereka selalu mengatakan, ‘di bawah kulit kita semua sama’. Cuiihhh, itu ungkapan paling munafik. Justru di bawah kulitlah mereka berbeda, di bawah kulit hati mereka munafik, di bawah kulit mereka semua rakus. Aku ingin bertanya, apakah aku ini tampan, sayang?”

“Entahlah, sayang. Aku bahkan tak memiliki tolak ukur sebuah ketampanan.”

“Itulah maksudku, istriku. Kita tak mengenal kata tampan dan cantik, karena kita tak memiliki tolak ukur. Tapi manusia? Kepala mereka telah diracuni, mereka dibius dengan berbagai tolak ukur, termasuk ketampanan dan kecantikan. Orang kulit putih tampan dan cantik, sementara orang kulit hitam sebaliknya. Ahhh, mereka telah dibutakan media.”

“Tapi tunggu, dari tadi kau memanggilku istri, apa itu?”

“Ohahaha..itu adalah istilah yang digunakan manusia jantan terhadap manusia betina setelah mereka menikah. Pasti kau ingin bertanya soal menikah, bukan? Menikah adalah proses rumit yang dilakukan manusia untuk melegalkan status hubungan mereka.”

“Nikahi aku, bang!” Muncrat memelas.

“Kau gila, kita hanya kawin, tidak menikah. Sudahlah, aku tak ingin seperti manusia. Aku bangga menjadi binatang.” Mencret kemudian berbaring.

Mencret memilih untuk segera tertidur, ia tak ingin Muncrat kembali meminta untuk dinikahi, bisa runyam jika ia melanjutkan pembicaraan. Ia paham betul tingkah betina. Ada ada saja si Muncrat.


                        Alauddin, Ranum Malam Tepi Januari 2017

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl