masukkan script iklan disini
![]() |
| Ilustrasi:net |
Oleh: Arlansyah
Filsuf pendidikan jhon Dewey, mengatakan bahwa
pendidikan adalah proses pembaharuan makna-makna pengalaman lewat proses
transmisi insidental dan intensional. (Dewey,1966; 1-9). Dengan demikian
pendidikan membantu manusia merealisasikan segala kemampuan yang ada dalam
dirinya untuk menjadi pribadi mandiri.
Pendidikan membekali masyarakat dengan seperangkat
sikap, cara pandang, dan nilai-nilai yang berguna di masa mendatang. Secara
tradisional, ada anggapan bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi sekaligus teruji oleh waktu. Pandangan tersebut disebut dengan,
esensialisme.
Pandangan lainnya mengatakan bahwa pendidikan harus mengupayakan
perkembangan akal budi manusia semaksimal mungkin. Oleh karena itu pendidikan
harus berpusat pada pendidik. Paham tersebut adalah paham, perenialisme.
Kedua paham tersebut bersifat tradisional
konservatif, ialah sama-sama memandang manusia sebagai mahkluk budaya. Artinya,
keberadaan manusia dianggap memiliki peranan sebagai penghayat, pelaksana, dan
sebagai pengembangan kehidupan. Pendidik sebagai subjek pembawa nilai dan norma
budaya menduduki posisi sentral dalam proses pendidikan (Barnadib,1996;62-63).
Pandangan tentang pendidikan semacam itu cenderung
bersifat otoriter, dan menghalangi kesadaran peserta didik untuk berkembang.
Aktifitas pendidikan kemudian berubah menjadi tindakan-tindakan menundukan peserta
didik. Pendidikan oleh karena itu bukan hanya semata-mata proses transfer
pengetahuan
Tetapi, yang terpenting adalah bgaimna proses
pendidikan memberikan kemampuan berpikir dilatih dengan memberikan rangsangan.
Rangsangan di berikan melalui metode ilmiah seperti kemampuan menganalisis atau
memilih secara rasional di antara beberapa alternatif (Barnadib,1995;22).
Begitupun dengan peserta didik, pendidikan dapat menumbuhkan kesadaran
kesadaran kritis terhadap situasi sosial di sekitarnya. Pendidik berperan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi peserta didik agar dapat berpikir
jelas dan mampu mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu secara kritis dan
kreatif merespon kondisi sosio-kulturalnya.
Masalah sentral bagi manusia adalah humanisasi. Humanisasi
adalah sesuatu yang perlu di perjuangkan, karena sejarah membuktikan
humanisasi merupakan alternatif yang real.
Akan tetapi humanisasi saja yang merupakan
panggilan manusia sejati, selalu di sangkal, tetapi justru dalam penyangkalan
ini ditegaskanlah tugas tersebut. Tugas itu di sangkal dan di
putarbalikkan oleh ketidakadilan, eksploitasi dan kekerasan kaum penindas. Dalam
situasi itu tampak dengan jelas kerinduan kaum tertindas akan kebebasan dan
keinginan untuk merenggut kembali kemanusiannya yang hilang.
Telah kita ketahui bersama bahwa pendidikan sesuatu
hal yang sangat signifikan bagi kehidupan manusia, karena tujuan dari
pada pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Tetapi realita, khususnya pada era
sekarang ini, yang di terapkan oleh tenaga-tenaga pendidik itu jauh dari pada
tujuan pendidikan yang sebenarnya dan di tambah lagi dengan adanya sistem yang
hanya berpihak pada orang -orang tertentu.
Paulo freire seorang ahli di bidang pendidikan dari
Brazil, percaya bahwa sistem yang tidak adil pasti bersifat menindas, karena
hanya melalui penindasan kelompok yang berkuasa bisa melanggengkan sistem yang
tidak adil tersebut.
Oleh karena itu, kita bisa melihat sistem
pendidikan yang di terapkan di setiap-setiap sekolah maupun perguruan
tinggi dengan sistem yang hanya mementingkan mutu pendidikan. Bahwa kalau mutu
pendidikan ingin ditingkatkan maka satu-satunya jalan yang pantas adalah
menaikkan biaya pendidikan. Kenaikan ongkos tersebut ditempuh guna menambal
subsidi negara yang hanya terus-menerus mengalami pengurangan. Di lain sisi,
Negara bukan hanya enggan memberikan subsidi pendidikan namun juga lebih
mementingkan pelebaran alokasi anggaran bagi restrukturisasi perbankan.
Jelas pada saat ini negara memang tidak memihak
kebutuhan rakyat akan pendidikan yang murah. Di sana-sini para pemegang
kebijakan gemar merancang cara-cara bersekolah yang memakan biaya mahal. Di
sana-sini sistem pendidikan telah mengacaukan lembaga-lembaga pendidikan agar
menghamba semata-mata pada instrumen-instrumen pasar.
Terkait dengan permasalahan tersebut, di situ pula
kadangkala muncul pendidikan yang di bajak dan dikorup.
Korupsi anggaran pendidikan kian membuat mutu
pendidikan merosot tajam. Korupsi bahkan telah menggerogoti bangunan fisik institusi
pendidikan. Di berbagai media kita membaca banyak berita bagaimna gedung-gedung
sekolah yang kualitas bangunannya menurun semakin buruk juga gara-gara sengatan
korupsi dan pembajakan anggaran.
Menanggung beban yang sebesar itu membuat kualitas
pendidikan khususnya di Indonesia makin tahun makin merosot tajam. Dilema
antara peningkatan kualitas dengan pemerataan kesempatan belajar makin
menggiring lembaga pendidikan ke dalam kebijakan yang bersifat darurat. Pola
kebijakan yang kerap kali menjebak pada, bagaimana mengembangkan institusi
pendidikan yang memiliki orientasi dan arah kebijakan yang sepenuhnya memenuhi
kepentingan pasar.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terus menerus oleh
manusia dalam menyelaraskan kepribadiannya dengan keyakinan dan nilai-nilai
yang beredar dan berlaku dalam masyarakat yang berkebudayaan.
Bertrand Russel menyatakan bahwa pendidikan
dimaksudkan agar manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat lewat
pengetahuannya yang diperoleh dengan kecerdasan supaya ia melibatkan diri
secara emosional dengan cinta, keramahan, dan keadilan pada semua.
(Russell,1939;xv).
Pendidikan seharusnya sebagai alat untuk
'membebaskan' dan bukan sebagai sarana pendidikan yang bersifat 'membelenggu'.
Karena pendidikan bukanlah wujud dari penindasan, Pendidikan selalu membina
kepribadian manusia dan hadir untuk meningkatkan hubungan sosio-kulturalnya
karena manusia mempunyai kesadaran untuk tetap mampu bereksistensi.
Samata,
Gowa 31-2017

