Iklan

Lapmi Ukkiri
06 June 2018
Last Updated 2020-06-23T04:24:27Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini
pic by: pixabay

Oleh: Mery Anggara Putri

             Pantaskah aku membanggakan diriku, membanggakan desaku, membanggakan bangsaku, membanggakan negeriku, pantaskah dengan jalan hidup seperti ini?
Aku ingin menjadi anak seperti sebayaku yang lain. Mengapa tidak? Mereka dapat menapaki setiap jenjang bangku sekolahan dengan ceria dan gembira. Aku juga ingin dikenang karena prestasi dan bukan karena kebodohan. Apakah itu hanya angan-anganku?
Kenapa aku dilahirkan di keluarga yang penuh dengan keterbatasan. Bukan aku tak mensyukuri apa yang Tuhan berikan tapi jujur ini sangat membuatku menyesal jika seandainya Tuhan menciptakan aku dan kembali mati juga dalam keadaan buta huruf.
Rangkaian kayu-kayu yang sudah rapuh. Bentuknya sangat sederhana. Modelnya seperti rumah-rumah di tanah Melayu pada umumnya. Ukurannya juga kecil. Di rumah itulah saya Saputri Cahyana tinggal yang kerap di sapa dengan nama Yana. Bocah  putus sekolah kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah dan punya sedikit teman..
Aku bukanlah seorang anak milyarder, bukan pula anak dari seorang penambang emas. Ayahku adalah seorang buruh bangunan yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehri-hari keluarga kami. Sedangkan ibuku seorang tukang cuci baju berjalan dari rumah ke rumah lainnya  yang membutuhkan bantuan dengan upah yang hanya untuk pembelian satu bungkus kopi untuk ayah.
Teras rumah adalah tempat favoritku. Dimana saat aku merasa letih, aku bernyanyi mendendangkan lagu  dan berkhayal.
Mentari terbit dan aku bersiap untuk pergi ke kampung sebelah tempat permukiman pendapatan uang yang sering aku datangi setiap pagi. Orang-orang elit biasa menyebutnya dengan pemulung. Iya pemulung!!
“ Bu, aku berangkat, ya,” aku mencium tangan ibu
“ Hati-hati, Nak,” sahut ibu.
Lalu aku pergi.                                 
Ayah  sakit-sakitan dan sekarang susah untuk bekerja lagi demi kebutuhan keluarga. Kadang-kadang ibu yang setiap harinya pergi ke tetangga atau kampung sebelah untuk mencari tumpukan cucian orang lain untuk dicuci demi sesuap nasi dan biaya pengobatan ayah.
Saat aku sampai di permukiman limbah dan sampah oleh masyarakat. Sesegera mungkin aku mengais barang-barang ataupun plastik yang akan kujual. Walau tak seberapa, itu dapat meringankan beban pemikiran ayah yang sekarang lagi tidak sehat.
Ibu dan ayah selalu melarang untuk aku pergi
         “Nak, kau tak pantas ke tempat itu. Kau ini seorang perempuan yang seharusnya tinggal dirumah. Kau juga masih kecil dan tidak sepantasnya kami membiarkan kamu setiap hari bekerja”
Itu yang selalu mereka katakan. Aku tahu mereka sangat menyayangiku tak ingin sedikitpun putrinya ini sakit atau tangannya kasar karena bekerja. Lantas jika aku tak membantu ibu kami akan makan apa esok hari.
Saat petang datang menyambut, aku segera pulang.
“ Assalamu alaikum.. aku pulang” kataku
“ Waalaikum salam, pergi makan ada nasi dan tahu di meja” kata ibu
            Sepanjang  malam aku selalu berkhayal sebelum tidur. Andai besok aku kembali bersekolah, mendapatkan teman-teman baru, guru baru, dan kelas baru. Jika itu terjadi mungkin aku tak akan pernah lelah untuk belajar atau mungkin saja aku akan sangat senang jika diberikan PR setiap hari dan itu adalah pekerjaan yang paling membahagiakan di dunia.
            Mungkinkah anggota dewan tahu, mungkinkah presiden dan wakilnya tahu, jika bersekolah itu hal yang paling aku dambakan mungkin seumur hidupku. Aku sesekali menoton TV di warung sebelah rumahku, selalu saja para kaum tinggi itu hanya memerhatikan orang yang masih mampu dalam membiayai seluruh kehidupannya bahkan mereka merekayasa untuk pencitraan semata. Kami yang dipelosok sekitar sampah tak mampu pungkiri “kami yang tak berpendidikan akan dibuang dan tertindas” pikirku
Aku terlelap.


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

1 comment: