masukkan script iklan disini
![]() |
| pic by: pixabay |
Oleh: Mery Anggara Putri
Pantaskah aku membanggakan diriku, membanggakan desaku,
membanggakan bangsaku, membanggakan negeriku, pantaskah dengan jalan hidup
seperti ini?
Aku ingin menjadi anak seperti sebayaku yang lain. Mengapa
tidak? Mereka dapat menapaki setiap jenjang bangku sekolahan dengan ceria dan
gembira. Aku juga ingin dikenang karena prestasi dan bukan karena kebodohan.
Apakah itu hanya angan-anganku?
Kenapa aku dilahirkan di
keluarga yang penuh dengan keterbatasan. Bukan aku tak mensyukuri apa yang
Tuhan berikan tapi jujur ini sangat membuatku menyesal jika seandainya Tuhan
menciptakan aku dan kembali mati juga dalam keadaan buta huruf.
Rangkaian kayu-kayu yang
sudah rapuh. Bentuknya sangat sederhana. Modelnya seperti rumah-rumah di tanah
Melayu pada umumnya. Ukurannya juga kecil. Di rumah itulah saya Saputri Cahyana
tinggal yang kerap di sapa dengan nama Yana. Bocah putus sekolah kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah dan
punya sedikit teman..
Aku bukanlah seorang anak
milyarder, bukan pula anak dari seorang penambang emas. Ayahku adalah seorang
buruh bangunan yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehri-hari
keluarga kami. Sedangkan ibuku seorang tukang cuci baju berjalan dari rumah ke
rumah lainnya yang membutuhkan bantuan
dengan upah yang hanya untuk pembelian satu bungkus kopi untuk ayah.
Teras rumah adalah tempat
favoritku. Dimana saat aku merasa letih, aku bernyanyi mendendangkan lagu dan berkhayal.
Mentari terbit dan aku
bersiap untuk pergi ke kampung sebelah tempat permukiman pendapatan uang yang
sering aku datangi setiap pagi. Orang-orang elit biasa menyebutnya dengan
pemulung. Iya pemulung!!
“ Bu, aku berangkat, ya,” aku mencium tangan ibu
“ Hati-hati, Nak,”
sahut ibu.
Lalu aku pergi.
Ayah sakit-sakitan dan sekarang susah untuk bekerja
lagi demi kebutuhan keluarga. Kadang-kadang ibu yang setiap harinya pergi ke
tetangga atau kampung sebelah untuk mencari tumpukan cucian orang lain untuk
dicuci demi sesuap nasi dan biaya pengobatan ayah.
Saat aku sampai di
permukiman limbah dan sampah oleh masyarakat. Sesegera mungkin aku mengais
barang-barang ataupun plastik yang akan kujual. Walau tak seberapa, itu dapat
meringankan beban pemikiran ayah yang sekarang lagi tidak sehat.
Ibu dan ayah selalu melarang untuk aku pergi
“Nak, kau tak pantas ke tempat itu. Kau ini seorang
perempuan yang seharusnya tinggal dirumah. Kau juga masih kecil dan tidak
sepantasnya kami membiarkan kamu setiap hari bekerja”
Itu yang selalu mereka
katakan. Aku tahu mereka sangat menyayangiku tak ingin sedikitpun putrinya ini
sakit atau tangannya kasar karena bekerja. Lantas jika aku tak membantu ibu
kami akan makan apa esok hari.
Saat petang datang menyambut, aku segera pulang.
“ Assalamu alaikum.. aku pulang” kataku
“ Waalaikum salam, pergi makan ada nasi dan tahu di meja”
kata ibu
Sepanjang malam aku selalu berkhayal sebelum tidur.
Andai besok aku kembali bersekolah, mendapatkan teman-teman baru, guru baru,
dan kelas baru. Jika itu terjadi mungkin aku tak akan pernah lelah untuk belajar
atau mungkin saja aku akan sangat senang jika diberikan PR setiap hari dan itu
adalah pekerjaan yang paling membahagiakan di dunia.
Mungkinkah anggota dewan tahu, mungkinkah presiden dan wakilnya tahu, jika bersekolah
itu hal yang paling aku dambakan mungkin seumur hidupku. Aku sesekali menoton
TV di warung sebelah rumahku, selalu saja para kaum tinggi itu hanya
memerhatikan orang yang masih mampu dalam membiayai seluruh kehidupannya bahkan
mereka merekayasa untuk pencitraan semata. Kami yang dipelosok sekitar sampah
tak mampu pungkiri “kami yang tak berpendidikan akan dibuang dan tertindas”
pikirku
Aku terlelap.


👍👍👍
ReplyDelete