Oleh: Saldiansyah Rusli
Di era pendidikan yang harusnya demokratis, segala bentuk aktivitas yang mencerdaskan dan membebaskan seharusnya dilindungi dan difasilitasi oleh institusi pendidikan. Tapi realitas di UIN Alauddin Makassar menunjukkan sebaliknya, ruang ekspresi dan kreativitas mahasiswa justru direpresi melalui larangan aktivitas malam. Kebijakan yang lahir dari yang katanya laboratorium pengetahuan justru kekuasaan ini tak hanya absurd, tapi juga menghina akal sehat dan prinsip pendidikan itu sendiri.
Larangan aktivitas malam di UIN Alauddin Makassar muncul pada tahun 2019. Petisi penolakan larangan ini juga muncul pada tahun yang sama. Larangan tersebut menjadi kontroversial dan memicu protes dari berbagai pihak. Karena dihadirkanya aturan ini tidak memiliki dasar hukum, moral yang cukup jelas Bahasa normatif yang sangat tidak rasional dan hanya melihat fenomena dari segelintir oknum saja. Surat Edaran yang melarang aktivitas malam di kampus tidak lebih dari upaya sistematis untuk membungkam Pembangunan intelektual dan potensi mahasiswa. Ironisnya, justru pihak kampus—yang seharusnya menjadi fasilitator tumbuhnya peradaban—berubah menjadi aktor utama dalam proses pemiskinan nalar ini. Dikatakan bahwa kegiatan masih bisa dilakukan dengan mekanisme persuratan, tapi kita tahu itu hanya basa-basi birokratis yang tak akan mampu mengakomodasi seluruh kebutuhan mahasiswa. Solusi yang semu ini bukanlah solusi.
Aktivitas intrakurikuler hanya bisa dilakukan pagi hingga sore, sementara ekstrakurikuler—yang menjadi jantung dinamika kemahasiswaan—hanya mungkin dilaksanakan di malam hari. Jika salah satu dibungkam, maka proses pendidikan kehilangan separuh jiwanya. Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses pembentukan karakter, keberanian, dan kreativitas. Larangan aktivitas malam adalah amputasi terhadap proses itu (Bandura, 1997).
Secara hukum, kebijakan ini juga cacat. Pasal 13 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa perguruan tinggi harus menjamin pengembangan potensi mahasiswa secara optimal. Statuta UIN Alauddin Makassar juga menjabarkan tujuan pendidikan sebagai sarana pengembangan insan akademik yang mandiri dan bertanggung jawab. Maka larangan aktivitas malam adalah bentuk kontradiksi terang-terangan terhadap hukum dan nilai dasar institusi sendiri.
Lebih buruk lagi, proses pengambilan kebijakan ini dilakukan secara tertutup, elitis, dan tidak partisipatif. Lembaga-lembaga kemahasiswaan seperti SEMA, DEMA, dan HMJ tak dilibatkan, padahal merekalah representasi sah dari mahasiswa. Ini melanggar asas partisipasi dalam tata kelola pendidikan tinggi yang baik, sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Pertanyaan Pramoedya Ananta Toer menjadi relevan kembali “Apakah manusia untuk sistem, atau sistem untuk manusia?” Jika sistem dibiarkan mengatur hidup manusia secara membabi buta, maka kampus ini hanya akan melahirkan manusia yang patuh tapi tumpul. Sistem yang tidak memanusiakan harus ditantang. Sistem yang membungkam harus digugat. Sistem yang menindas harus dilawan.
Lebih radikal lagi, kampus hari ini bicara tentang efisiensi anggaran. Dalih penghematan menjadi jargon baru dalam menjustifikasi peniadaan anggaran untuk organisasi kemahasiswaan (ORMAWA). Mahasiswa didorong untuk “adaptif dan kreatif”, tapi ironisnya, ruang untuk menjadi adaptif dan kreatif itu justru ditutup. Tidak ada anggaran, tidak ada fasilitas, dan sekarang tidak ada waktu. Ini melahirkan apa yang disebut Henry Giroux (2005) sebagai pedagogi neoliberal, di mana pendidikan direduksi menjadi logika pasar dan efisiensi, bukan pembebasan.
Bahasa “efisiensi”, “tertib”, dan “disiplin” dijadikan tameng untuk melucuti hak-hak mahasiswa. Kampus mengubah wajahnya, dari ruang pembebasan menjadi ruang kontrol. Sementara itu, lembaga kemahasiswaan—yang seharusnya menjadi laboratorium kepemimpinan dan kreativitas—dilucuti, dibatasi, dan direduksi hanya menjadi simbol formal dalam struktur akademik.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menyebut hal ini sebagai pendidikan gaya bank, di mana mahasiswa hanya dijadikan objek setoran informasi dan kontrol—bukan subjek yang membebaskan dirinya sendiri. Pendidikan yang menindas terjadi ketika mereka yang belajar tidak diberi ruang untuk bertanya, berkreasi, dan mengambil peran aktif dalam kehidupan akademiknya.
Ironisnya lagi, kampus justru telah memiliki infrastruktur keamanan yang cukup keberadaan puluhan satuan pengamanan, security, ormas atau apalah disebutnya dan CCTV di berbagai titik telah cukup menjamin keamanan aktivitas malam. Maka alasan “keamanan” sebagai dasar larangan menjadi retorika kosong belaka. Sejak pukul lima sore, kampus seolah mati. Padahal di tengah keterbatasan dana, mahasiswa butuh malam sebagai ruang berkreasi alternatif. Tapi kini, waktu itu pun dirampas.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara—Bapak Pendidikan Nasional—seolah dilupakan oleh institusi yang menyebut dirinya “Kampus Peradaban.” Ki Hadjar menyatakan bahwa “pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak”, bukan sekadar pelatihan agar patuh. Maka menjadi ironi ketika kampus justru membelenggu kemerdekaan itu dengan larangan, pemangkasan, dan ketidakterbukaan terhadap partisipasi mahasiswa maka, cilakalah kampus yang memiliki julukan kampus peradaban.
Dalam filosofi “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, seorang pemimpin pendidikan seharusnya menjadi teladan di depan, menyemangati di tengah, dan mendukung dari belakang. Tapi hari ini, pimpinan kampus justru berdiri sebagai penghalang. Mahasiswa tidak lagi diberi tut wuri—dukungan moral dan material—melainkan dibenturkan dengan tembok-tembok administratif yang steril dari semangat pembebasan tidak ada lagi ruang untuk berbeda pendapat.
Larangan aktivitas malam bukan hanya tentang waktu—ini adalah simbol ketakutan, gejala otoritarianisme birokrasi kampus, dan bukti nyata dari kemunduran cara berpikir institusi yang seharusnya mencetak manusia merdeka. Maka, menantang sistem bukan lagi opsi, tapi keharusan. Lantas bagaiman lagi seharusnya kita bersikap pada kampus yang sama sekali tidak demokrasi?.
Mahasiswa UIN Alauddin Makassar harus bersatu, menyatukan simpul perjuang, dan membangun gelombang perlawanan intelektual terhadap sistem yang anti demokrasi. Kampus peradaban tidak bisa dibangun dari kebijakan yang menindas nalar kritis mahasiswa. Kreativitas tak tunduk pada jam kerja. Gagasan tak lahir dalam keheningan. Dan peradaban tak akan pernah tumbuh dari ketakutan.
Hari ini, mahasiswa tidak boleh lagi diam dan seharusnya lebih brutal lagi menanggapi semua aturan ngawur kampus peradaban itu. Karena diam adalah bentuk baru dari kepatuhan. Dan kepatuhan, dalam sistem yang menindas, adalah bentuk baru dari pengkhianatan terhadap masa depan.
Menolak larangan aktivitas malam adalah langkah awal menuju pendidikan yang memerdekakan. Menantang sistem adalah bentuk cinta paling jujur kepada kampus yang kita harap bisa menjadi rumah peradaban.
Referensi:
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Statuta UIN Alauddin Makassar
Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. 1970
Giroux, Henry A. The Terror of Neoliberalism: Authoritarianism and the Eclipse of Democracy. 2005
Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan (Kumpulan tulisan)
Pramoedya Ananta Toer. Jejak Langkah, Tetralogi Buru
Bandura, Albert. Self-Efficacy: The Exercise of Control. 1997
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis!