Ilustrasi: istockphoto.com
Penulis: Risal Sannai
Segala sesuatu dalam kehidupan memiliki makna dan tujuan tertentu sehingga sesuatu itu ada. Dalam Bahasa Prancis hal ini diistilahkan sebagai Raison d’etre yang secara harfiah bermakna “alasan keberadaan”. Secara umum, konsep Raison d’etre seringkali diartikan sebagai perenungan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidup, tujuan keberadaan, dan bagaimana kita berhubungan dengan kehidupan sekitar. Seperti yang diungkapkan (Setiawan, 2024), bahwa mengada bukan hanya tentang keberadaan namun juga melibatkan perjalanan proses mendalami diri, pertumbuhan pribadi, dan aktualisasi diri yang berkesinambungan.
Pada konteks Pendidikan, Raison d’etre memiliki makna filosofis yang sangat fundamental. Raison d’etre Pendidikan misalnya yang oleh K.H Dewantara dikemukakan bahwa pendidikan bertujuan menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat (Dewantara, 1986). Atau sederhananya dijelaskan (Siswadi, 2022), bahwa tugas pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia. Sehingga, secara ontologis pendidikan pada hakikatnya adalah tentang manusia, sebab ia hasil pemikiran yang dilakukan oleh dan untuk manusia guna mencapai aktualisasi diri di dunia (Muqowim, 2004).
Namun, dewasa ini kita melihat praktik pendidikan yang umumnya menuai polemik disebabkan atas orientasinya yang dianggap banyak melenceng dari nilai-nilai kemanusiaan. Menurut (Saksono, 2010) pendidikan sendiri diarahkan pada kepentingan pasar, yang mana membuat seseorang terdidik hanya menguasai ilmu “produksi” namun tidak dengan pemahaman keadilan sosial, semangat kebangsaan, ataupun sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara. Pendidikan tinggi misalnya sebagai tahap paling dewasa dalam pendidikan formal yang dipercaya bisa membentuk manusia yang utuh, baik aspek kognitif, moral, sosial, dan spritualitas, justru menjadi lembaga doktriner yang menanamkan kepatuhan dan ketundukan di balik sistem yang dianggap mapan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari adanya kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, sentralistis, mekanis, verbalis, kognitif, dan misi pendidikan telah misleading (Muqowim, 2024).
Selain itu, sekilas kita melihat adanya penyempitan tujuan pendidikan hanya semata pemenuh hasrat dalam mencapai klaim prestasi dari sebuah program studi atau kampus dengan predikat akreditasi tertinggi (A) yang dipercaya dapat mengangkat relibialitas peserta didik lulusannya (Ninsiana, 2018). Alih-alih Perguruan Tinggi diharapkan sebagai sarana bertumbuh kembangnya perasaan-perasaan yang peka realitas, ketimpangan, dan penindasan, justru berubah menjadi lahan subur tumbuhnya alienasi, baik perserta didik sebagai individu maupun sosial. Tak jarang kita menemukan mahasiswa yang enggan beradaptasi dengan lingkungan sosial yang sedang mengalami masalah kemanusiaan seperti penggususuaran, perampasan tanah dan masalah kemasyarakatan lainnya. Kenyataan semacam ini tentu tidak terlepas dari bagaimana sistem pendidikan itu bekerja. Sebagaimana ruwetnya kurikulum yang telah berhasil menciptakan manusia-manusia individual kompetitif.
Sementara itu, kita juga melihat betapa tiga indikator yang terkandung dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi hanya sebatas slogan tanpa makna yang berarti. Proses pengajaran di ruang-ruang kelas kebanyakan berlansung tanpa dialektika sebagaimana mestinya kaum akademik, tetapi lebih bermuatan doktrin. Tak ditemukan metode pengajaran yang oleh istilah Paulo Freire (filsuf pendidikan Brasil, 1921-1997) disebut sebagai Problem-Posing Education (hadap masalah). Belum lagi dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang kadang dilakukan tanpa integritas akademik. Bukan lagi rahasia umum, bahwa peristiwa plagiarisme yang terjadi di Indonesia banyak menyeret nama-nama yang berlatarbelakang warga kampus, baik mahasiswa hingga profesor. Tidak jauh beda halnya dengan konsep pengabdian masyarakat yang ada, dijalankan hanya sebagai formalitas semata.
Mengacu pada paparan masalah yang dijelaskan sebelumnya, maka suatu upaya dalam menjawab persoalan kiranya mendesak ditemukan. Berangkat dari itu, istilah Raison d’etre di sini, diletakkan sebagai asumsi pokok dalam melihat penyebab dari permasalahan yang ada. Di mana ketidaktahuan manusia terhadap Raison d’etrenya, secara bersamaan akan menyebabkan manusia kehilangan arah atau bahkan terjadi yang namanya krisis eksistensial. Dalam kaitannya dengan perguruan tinggi (manusia sebagai pelaku), bisa dipahami sebagai ketiadaan integritas, tujuan, serta ketiadaan visi-misi dalam keberlansungannya, yang pada akhirnya menyebabkan sebuah institusi kehilangan arah.
Olehnya itu, alasan keberadaan pendidikan sebagaimana dikemukakan di awal, akan mengantarkan kita pada sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana seharusnya pendidikan mewujud atau praktik ideal dalam menjalankannya. Sementara begitu pula sebaliknya, bahwa ketidaktahuan makna keberadaan atas pendidikan, akan mengantarkan praktik pendidikan pada keruntuhannya sendiri. Karena itu, memahami Raison d’etre pendidikan menjadi sangat penting sebab umpamanya sebagai alat kompas penuntun arah perjalanan.
Dengan ini, upaya meretas persoalan bisa dimulai dari perenungan-perenungan mendasar untuk melihat kembali alasan pendidikan hadir. Raison d’etre ibaratnya energi baru di tengah zaman yang menuntut segala aktivitas dalam ketergesah-gesahan. Olehnya, Raison d’etre pendidikan harus segera ditemukan kembali karena asas perikemanusiaan dan perikeadilan sudah jauh dalam praktik pendidikan kita hari ini. Komitmen mencerdaskan kehidupan bangsa yang diamanatkan musti dijalankan dengan tulus, luhur dan tanpa pamrih (baca, UUD 1945). Semua itu semata-mata hanya untuk kepentingan bersama, yakni demi mewujudkan tatanan sosial yang adil bagi seluruhnya.
Atas dasar itulah, istilah Raison d’etre diangkat sebagai tema PBAK Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar tahun 2025. Dengan harapan PBAK tidak hanya sebatas momentum seremonial penyambutan mahasiswa baru semata, tetapi juga proses awal penanaman makna,—makna tentang kabajikan, cinta dan kasih.
Referensi:
Dewantara, K. (1986). Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.
Muqowim. (2004). Upaya Mewujudkan Kesadaran Profetik dalam Pendidikan 1. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 1,, 81-102.
Ninsiana, W. (2018). Deradikalisasi Pendidikan Sebagai Antitesis Penyimpangan Paradigma dan Tujuan Pendidikan Nasional. Tarbawiyah : Jurnal Ilmiah Pendidikan, 195-204.
Puspita, M. D. (2024, april 2). Selain Safrina Unair, Ini Kasus-kasus Plagiat di Kampus yang Pernah Viral. Retrieved from tempo.co: https://www.tempo.co/politik/selain-safrina-unair-ini-kasus-kasus-plagiat-di-kampus-yang-pernah-viral-71502#goog_rewarded
Saksono, G. I. (2010). Pendidikan Yang Memerdekakan Siswa. Yogyakarta: Diandra Primamitra Media.
Setiawan, W. (2024). Refleksi Filosofis Mengada Dalam Kebermaknaan Hidup Manusia Menurut Terang Metafisika Martin Heidegger. Aggiornamento, 71-79.
Siswadi, G. A. (2022). Pemikiran Filosofis Paulo Freire Terhadap Persoalan Pendidikan Dan Relevansinya Dengan Sistem Merdeka Belajar Di Indonesia. Guna Widya: Jurnal Pendidikan Hindu, 142-153.