Iklan

Manifesto Pendidikan Kampus Peradaban

Lapmi Ukkiri
01 August 2025
Last Updated 2025-08-01T14:25:55Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini


Oleh: Saldiansyah Rusli 



"Selamat datang MABA, Maaf kami sedang KKN"


Di tengah kondisi organisasi mahasiswa yang semakin kehilangan arah dan semangat juangnya, sebuah fenomena menyayat nalar begitu bergemah di kepala saya. Para pengurus lembaga, bahkan ketuanya sekalipun, dengan penuh semangat memamerkan senyum dan jas almamater untuk “mengabdi kepada masyarakat” dalam ritual tahunan bernama Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mereka meninggalkan lembaga yang seharusnya dijaga, meninggalkan organisasi yang sedang dalam fase degradasi, demi sebuah proyek pengabdian yang dibungkus sebagai bentuk pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi.


Padahal, siapa yang sedang benar-benar butuh “pengabdian”? Bukankah organisasi tempat mereka bernaung kini sedang sekarat, ditinggal tanpa arah, tanpa evaluasi, dan tanpa kepemimpinan yang memihak pada perubahan sosial sesuai dengan sumpah pada saat pelantikan mereka. Bukankah mahasiswa baru yang akan datang itu membutuhkan penyambutan, pembinaan, dan ruang belajar politik kampus—bukan sekadar senyuman palsu dari senior-seniorya yang justru sibuk memburu sertifikat pengabdian di desa yang tidak mereka kenal. Pembangunan hubungan emosional antara mereka yang lebih dulu menginjakkan kaki dikampus malah memperlihatkan sikap superior, Entah padahal nilai-nilai itu sudah lama ditinggalkan.


Ironinya bertambah ketika kita melihat bahwa hingga hari ini, juknis  Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) pun belum juga keluar. Tidak ada kejelasan, tidak ada keterlibatan organisasi mahasiswa dalam penyusunannya. Apakah ini bentuk kelalaian? atau justru bagian dari skenario lama menjadikan PBAK sebagai proyek birokrasi yang represif?


Kita tidak lupa bagaimana PBAK sebelumnya menjadi panggung represi terselubung. Mahasiswa baru yang baru sehari menjejakkan kaki di kampus langsung dijejali ancaman Skorsing dan Drop Out (DO) jika tak patuh pada seremonial. Retorika yang disebar adalah kepatuhan, bukan pembebasan. PBAK tak lagi menjadi ruang pengenalan budaya kritis dan membebaskan, tapi instrumen penjinakan sejak dini. Inilah wajah baru kampus peradaban membungkam sebelum sempat bersuara.


PBAK harus diperjuangkan mengingat refleksi tahun-tahun sebelumnya yang harus dan perlu di evaluasi dan di eksekusi dengan baik. Bukan sekadar agenda tahunan, tapi medan awal pertempuran wacana—apakah mahasiswa baru akan lahir sebagai subjek merdeka, atau korban doktrin institusional. Dan tugas perjuangan ini seharusnya dipikul oleh mereka yang hari ini memegang tampuk organisasi, bukan ditinggalkan demi proyek pengabdian semu yang jauh dari realitas krisis internal kampus.


Michel Foucault pernah bicara tentang bagaimana kuasa bekerja lewat institusi, disiplin, dan ritus yang dikemas manis. KKN hari ini bukan lagi tentang pengabdian yang jujur, melainkan tentang domestikasi mahasiswa ke dalam proyek-proyek yang memutus hubungan mereka dengan realitas kritis. Jas almamater yang dikenakan dengan bangga itu, seringkali menutupi fakta bahwa di baliknya ada pengkhianatan terhadap tanggung jawab kolektif—terhadap regenerasi, terhadap kaderisasi, terhadap visi perubahan.


Mereka melupakan bahwa “Masyarakat” yang paling dekat dan paling membutuhkan sentuhan justru adalah organisasi mahasiswa itu sendiri, dan mahasiswa baru yang masih buta arah kosong dan tidak tau arah seharusnya di dampingi oleh kakak-kakak mereka. Lalu siapa yang akan menyambut mereka? siapa yang akan menjadi jembatan pembelajaran dan pemantik kesadaran? apakah itu juga akan disubkontrakkan kepada birokrasi kampus? tentunya tidak, coba bayangkan ketika mahasiswa dininabobokkan oleh para birokrasi kampus, begitu banyak argumentasi yang utopis dan semu itu sangat jauh dari kebenaran ilmiah.


Apabila para pengurus hari ini begitu mudah meninggalkan lembaganya, maka mereka bukan sedang mengabdi, tapi sedang melarikan diri. Lembaga bukan hanya mengalami degradasi secara struktural, tapi juga pembusukan ideologis, tidak ada ruang untuk melakukan pengidiologisasian, karena para penghuninya tidak lagi melihat organisasi sebagai ruang perjuangan terhadap cita-cita kolektif atau yang dicita-citakan secara kolektif, melainkan beban yang harus segera ditinggalkan begitu jas almamater dikenakan untuk tujuan-tujuan pribadi.


Maka tidak heran jika muncul rasa pesimis. Sebab dari dalam lembaga yang sedang mengalami degradasi, suara tanggung jawab makin pelan, tergantikan oleh riuh selfie KKN dan laporan kegiatan yang hanya akan jadi dokumen arsip. Kering, Mati, Tanpa makna.



Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis!

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl