Iklan

Hidup di Era Scroll Tanpa Henti: Tubuh, Akal, AI, dan Reposisi Perpustakaan

Lapmi Ukkiri
20 September 2025
Last Updated 2025-09-20T06:49:37Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini


Penulis : Saldiansyah Rusli

 

Fenomena desscrolling (scroll tanpa henti) menunjukkan pergeseran besar dalam relasi manusia, teknologi, dan pengetahuan. Tubuh manusia kini didisiplinkan oleh algoritma, sementara akal yang hanya berfungsi sebagian kecil semakin kehilangan otoritasnya karena perannya digantikan oleh artificial intelligence (AI). Artikel ini membahas fenomena tersebut melalui perspektif filsafat dan teori media (Foucault, McLuhan, Baudrillard, Heidegger, Zuboff) serta menghubungkannya dengan reposisi peran perpustakaan. Perpustakaan, baik konvensional maupun digital, dipandang sebagai ruang perlawanan yang dapat merehabilitasi akal, mendisiplinkan tubuh, membangun literasi algoritmik, dan mengontrol penggunaan AI. Contoh konkret seperti iPusnas, Garuda, dan perpustakaan kampus di Indonesia ditampilkan untuk menunjukkan relevansi perpustakaan dalam menghadapi krisis budaya digital.


Era digital membawa fenomena infinite scroll, fitur media sosial yang membuat manusia menggulir layar tanpa batas. Aktivitas yang sekilas sederhana ini sesungguhnya merepresentasikan tubuh yang dikendalikan algoritma, akal yang melemah, dan dominasi AI dalam kehidupan sehari-hari. Secara kognitif, akal sadar hanya mengendalikan sebagian kecil perilaku manusia, sekitar 20%, sementara sisanya ditentukan oleh kebiasaan bawah sadar. Kini, peran kecil itu pun semakin digantikan oleh AI yang menawarkan analisis instan, rekomendasi personal, bahkan keputusan yang memengaruhi orientasi hidup.


Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah manusia masih menjadi subjek berpikir, atau sekadar objek dari logika kapitalisme digital? Dalam konteks ini, perpustakaan—baik tradisional maupun digital—menjadi institusi yang penting untuk direfleksikan kembali sebagai ruang perlawanan terhadap hegemoni algoritma.


Tubuh dan Akal dalam Bayang-Bayang Algoritma


Foucault (1977) menegaskan bahwa tubuh adalah objek kekuasaan yang selalu didisiplinkan. Jika dulu tubuh dikendalikan oleh sekolah atau militer, kini tubuh dikontrol oleh algoritma melalui notifikasi dan scroll tanpa henti. Tubuh manusia, terutama mata dan tangan, bergerak otomatis tanpa keterlibatan penuh akal.


McLuhan (1964) memperkuat dengan gagasannya bahwa the medium is the message. Media bukan sekadar menyampaikan konten, tetapi membentuk kesadaran dan perilaku. Infinite scroll melatih tubuh dan pikiran untuk terbiasa dengan kepuasan instan, sehingga akal kehilangan ruang untuk refleksi mendalam.


Krisis Akal di Era AI


Dalam tradisi filsafat, akal adalah fakultas tertinggi yang memberi arah pada tubuh. Namun, dalam era digital, fungsinya semakin menyempit. Heidegger (1954) menyebut teknologi sebagai Gestell—bingkai yang tidak hanya membantu, tetapi juga membatasi cara manusia memahami realitas. Kini, AI menjadi bingkai utama: dari rekomendasi tontonan Netflix, berita di Google, hingga konten di TikTok.


Baudrillard (1981) menambahkan bahwa manusia hidup dalam simulacra, dunia simulasi di mana citra lebih nyata daripada kenyataan. Akal kehilangan perannya untuk membedakan realitas karena AI menghadirkan representasi yang tampak lebih otoritatif daripada refleksi manusia itu sendiri.


Kapitalisme Pengawasan


Zuboff (2019) menyebut kondisi ini sebagai surveillance capitalism—kapitalisme pengawasan. Data dan perhatian manusia dieksploitasi untuk keuntungan ekonomi. Setiap scroll adalah bentuk produksi nilai, dan setiap interaksi digital memperkuat kendali algoritmik atas tubuh dan akal manusia.


Dalam kerangka ini, manusia bergeser dari subjek menjadi objek. Akal yang seharusnya mengendalikan tubuh kini tunduk pada logika kapitalisme digital yang difasilitasi AI.


Perpustakaan sebagai Ruang Perlawanan


Meski demikian, manusia masih memiliki ruang untuk merebut kembali kendali, salah satunya melalui institusi pengetahuan: perpustakaan.


1. Rehabilitasi Akal

Perpustakaan menyediakan ruang kontemplatif di mana membaca, menulis, dan berdiskusi menjadi latihan untuk menghidupkan kembali fungsi analitis akal (Arendt, 1958).


2. Disiplin Tubuh

Berbeda dengan desscrolling yang membuat tubuh terjebak dalam ritme instan, perpustakaan melatih tubuh untuk fokus, hening, dan hadir penuh dalam proses belajar.


3. Literasi Algoritmik

Perpustakaan modern dapat berperan sebagai pusat literasi digital, mengajarkan masyarakat cara kerja algoritma dan dampaknya terhadap kesadaran (Zuboff, 2019).


4. Reposisi AI

AI di perpustakaan dapat digunakan untuk mempermudah akses pengetahuan—misalnya katalog digital, pencarian cepat, dan rekomendasi bacaan—tetapi tetap dalam kerangka kendali manusia, bukan sebaliknya.


Contoh Konkret di Indonesia


Reposisi perpustakaan di era digital sudah mulai terlihat di Indonesia:

iPusnas: aplikasi perpustakaan digital nasional yang menyediakan akses ribuan buku gratis. Kehadirannya menjadi alternatif dari desscrolling media sosial, mengalihkan tubuh dan akal ke aktivitas membaca.

Garuda (Garba Rujukan Digital): basis data nasional yang menyediakan jurnal ilmiah, mendorong mahasiswa dan peneliti untuk mengakses pengetahuan secara reflektif.

Perpustakaan kampus (misalnya UGM, UI, dan UIN): kini mengintegrasikan sistem digital dengan ruang baca fisik, menciptakan kombinasi antara kontemplasi tradisional dan akses teknologi modern.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa perpustakaan dapat memainkan peran ganda: sebagai benteng melawan logika desscrolling sekaligus sebagai ruang inovasi untuk menggunakan teknologi secara sehat.

Fenomena desscrolling memperlihatkan bagaimana tubuh dikendalikan algoritma, akal melemah, dan AI mengambil alih fungsi reflektif manusia. Namun, perpustakaan hadir sebagai ruang alternatif, tempat akal dipulihkan, tubuh didisiplinkan secara sehat, dan teknologi dikendalikan.

Reposisi perpustakaan sebagai ruang refleksi, literasi algoritmik, dan pemanfaatan AI secara etis menjadi strategi penting agar manusia tetap menjadi narator, bukan penonton, dalam sejarah digital. Dengan demikian, perpustakaan bukan hanya gudang pengetahuan, melainkan benteng kemanusiaan di tengah badai kapitalisme digital.





Daftar Pustaka


Arendt, H. (1958). The Human Condition. University of Chicago Press.


Baudrillard, J. (1981). Simulacra and Simulation. Éditions Galilée.


Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.


Heidegger, M. (1954). The Question Concerning Technology. Harper & Row.


McLuhan, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. McGraw-Hill.


Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl