Iklan

Ketika Kampus Peradaban Menjual Ilmu: Wajah Gelap Pungli Akademik di UIN Alauddin

Lapmi Ukkiri
09 October 2025
Last Updated 2025-10-09T15:43:43Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini
 

Ilustrasi : Pinteres



Oleh: Saldiansyah Rusli


UIN Alauddin Makassar dengan bangga menamakan dirinya sebagai kampus peradaban. Sebuah slogan yang seharusnya merepresentasikan nilai keilmuan, etika, dan moralitas islam sebagai fondasi kehidupan akademik, akan tetapi dibalik slogan yang luar biasa itu, tumbuh praktik yang justru menodai makna peradaban itu sendiri—Pungutan Liar (PUNGLI) dalam berbagai bentuk yang semakin dianggap lumrah.

Coba bayangkan salah satu fenomena paling mencolok ialah praktik penjualan buku oleh dosen kepada mahasiswa di tengah proses perkuliahan. Buku dijual secara terang-terangan dan dijadikan instrumen pengendalian psikologis dalam proses belajar,  mahasiswa dipaksa secara halus untuk membeli karena dosen menegaskan bahwa seluruh materi dan tugas hanya dapat dijawab melalui buku tersebut, mahasiswa yang menolak dianggap tidak serius, bahkan terancam nilai rendah.

Praktik ini tidak hanya mencederai etika akademik, tetapi juga melanggar hukum. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (PERMENDIKNAS) Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 11 menegaskan bahwa pendidik dilarang melakukan distribusi buku ajar di lingkungan perguruan tinggi. Aturan itu dibuat untuk menjaga objektivitas akademik dan menghindari konflik kepentingan antara pengajar dan peserta didik. Namun, peraturan tampak tak lebih dari teks mati di hadapan budaya akademik yang terbuka terhadap penyimpangan.

Lebih jauh, praktik pungli dan komersialisasi yang terjadi di lingkungan kampus juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Statuta UIN Alauddin Makassar. Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa UIN Alauddin berfungsi menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam yang berlandaskan keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan dalam suasana akademik yang beretika, berkeadilan, dan bebas dari penyalahgunaan kewenangan. Maka, segala bentuk pungutan liar dan komersialisasi pendidikan tidak hanya melanggar norma hukum, tetapi juga mencederai roh moral dan visi institusional kampus itu sendiri.

Parahnya lagi, wajah kampus yang semestinya mencerminkan kecantikan peradaban kini tampak buram oleh bias kekuasaan dan pembunuhan nalar kritis. Wajah yang seharusnya indah karena dihiasi dengan kebebasan berpikir, kejujuran ilmiah, dan keberanian intelektual kini tak lagi terlihat. Ia tertutup kabut kepentingan dan ketakutan.

Fenomena ini sejatinya dapat dibaca melalui paradigma Louis Althusser, yang membedakan dua bentuk kekuasaan 'Ideological State Apparatus' dan 'Repressive State Apparatus'. Dalam konteks perguruan tinggi, Ideological State Apparatus bekerja melalui lembaga pendidikan—menanamkan kepatuhan melalui ideologi yang seolah suci, seperti kedisiplinan, loyalitas, dan penghormatan hierarki kepada dosen. Sementara Repressive State Apparatus beroperasi secara represif, melalui ancaman nilai, tekanan birokrasi, dan intimidasi simbolik yang membuat mahasiswa diam. Dengan kata lain, ketika kampus menjadikan mahasiswa patuh bukan karena cinta terhadap ilmu, tetapi karena takut kehilangan nilai, maka pendidikan telah berubah menjadi alat penjinakan ideologis.

Pungli akademik hanyalah satu manifestasi dari dominasi tersebut. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari sistem yang lebih besar sistem yang kemudian menormalisasi ketidakadilan dalam struktur pendidikan. Kita tidak hanya menyaksikan pelanggaran administratif, tetapi pembusukan moral yang merusak fondasi akal sehat kampus.

Sebagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejati adalah “menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat.” Sayangnya bagaimana pendidikan dapat menuntun, bila justru menindas daya kritis dan memaksa mahasiswa menjadi konsumen pasif pengetahuan? Ketika ruang kuliah berubah menjadi pasar dan dosen menjadi pedagang, maka pendidikan kehilangan roh pembebasannya.

Kampus seharusnya menjadi tempat di mana nalar kritis dipelihara, bukan dibungkam. Tetapi ketika pungli, manipulasi psikologis, dan komersialisasi dijadikan norma, maka peradaban yang diklaim kampus justru sedang sekarat di tangan para penjaganya sendiri.

Jika kampus masih ingin disebut kampus peradaban, maka peradaban itu harus dimulai dari keberanian membersihkan dirinya sendiri—dari segala bentuk komersialisasi, penyalahgunaan wewenang, dan pembunuhan nalar kritis.
Karena wajah peradaban yang cantik tidak akan pernah terlihat, selama ia terus diselimuti oleh kabut ideologi dan represi yang lahir dari ketakutan berbicara benar.



Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis!
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl