Iklan

Tantangan Perjuangan HMI: Refleksi Islam Aktual ala Jalaluddin Rakhmat

Lapmi Ukkiri
22 November 2025
Last Updated 2025-11-22T13:14:28Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini


Oleh: Muh Fauzan AR 


Jalaluddin Rakhmat, akrab disapa Kang Jalal, merupakan salah satu cendekiawan Muslim Indonesia paling berpengaruh di akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Aktivis HMI Cabang Bandung pada masa mudanya, dosen, komunikolog, ia meninggalkan warisan pemikiran yang selalu menolak dikotomi antara agama dan realitas sosial.


Bukunya, Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim (1989) merupakan salah satu karya paling fenomenal yang lahir di tengah gelombang reformasi Indonesia. Buku ini tak sekadar kumpulan esai, melainkan juga seruan tegas agar umat Islam berhenti berpuas diri dengan Islam konseptual atau Islam ideal dan bergerak menuju Islam aktual–yakni Islam yang hidup, berlaku, dan memberi solusi konkret di tengah masyarakat.


Inti pemikiran Kang Jalal sederhananya dalam buku ini dapat diringkas dalam dua syarat utama laku berislam yang optimal, yaitu keterbukaan dan keberpihakan.


Keterbukaan berarti kesediaan menerima ilmu pengetahuan dari segala penjuru tanpa mempertentangkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Kang Jalal menulis bahwa umat Islam hanya akan maju jika berani keluar dari kungkungan pemikiran sempit mazhab tertentu atau konstruk fikih yang kaku, dan mau belajar, teknologi, pertanian, psikologi, dan ilmu-ilmu humaniora secara luas. Keterbukaan ini bukan sekadar toleransi intelektual, melainkan syarat mutlak kemajuan peradaban.


Keberpihakan yang dimaksud, yakni, mengubah ilmu menjadi amal nyata dengan memihak kepada yang tertindas, yang miskin, yang terdiskriminasi. Kang Jalal, menegaskan bahwa ukuran keislaman seseorang bukan seberapa tebal jenggotnya atau seberapa panjang kajian fikihnya, melainkan seberapa nyata ia berada di sisi kaum dhuafa.


Di sinilah ia menggemakan prinsip Abu Dzar al-Ghifari yang kerap dikemukakan, “Dahulukan akhlak di atas fikih.” Tesis Kang Jalal, fikih tanpa akhlak hanya menjadi alat kekuasaan; akhlak tanpa fikih bisa kehilangan arah; tetapi akhlak yang hidup dalam keberpihakan adalah inti Islam yang aktual.


Dalam tulisan-tulisannya yang  lain, Kang Jalal kerap juga mengisahkan Abu Dzar al-Ghifari yang frontal mengkritik khalifah karena kemewahan, Hatim al-Ashamm yang saleh namun kritis, serta tragedi Karbala yang menjadi pengingat bahwa kebenaran sering kali harus dibayar mahal.


Kiranya, apa yang ditulis Kang Jalal, bukanlah maksud nostalgia (romantisasi) semata, melainkan untuk memantik semangat bahwa Islam sejati adalah Islam yang berani berhadapan dengan ketidakadilan di zamannya sendiri.


Kini, sampailah kita pada pertanyaan yang paling mungkin, khususnya kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); mengapa perjuangan kita selama ini masih terjebak di tataran ideal semata?


Sejak berdiri di tahun 1947, selalulah pasti berdiskusi tentang banyak nilai; Khittah Perjuangan, Nilai Dasar Perjuangan, diskusi panjang tentang Islam dan kebangsaan, negara hukum, demokrasi, hingga pluralisme. Tentu mahir kita berdebat tentang khilafah versus negara bangsa, tentang bentuk ideal masyarakat Islam, tentang tafsir-tafsir Al-Qur’an yang mendalam. Tetapi terlalu sering, semua itu hanya berhenti di ruang-ruang diskusi, LK, seminar, dan makalah yang tebalnya ratusan halaman, namun tipis implementasinya.


Inilah yang Kang Jalal sebut sebagai Islam konseptual–Islam yang pepat di kertas, memukau di mimbar, tapi mati di jalanan.


Jika HMI ingin tetap relevan di abad ke-21, maka diperlukan lompatan dari Islam ideal ke Islam aktual ala Jalaluddin Rakhmat.


Pada ujung refleksi ini, penulis hendak tertuju pada satu titik yang akrab, yakni perihal HMI Cabang Gowa Raya.


Dalam kemutakhiran fenomena, tanah kelahiran La Maddukelleng tentu mendamba upaya-upaya baru dari pemudanya dalam merespons keadaan yang statis. Namun, selama beberapa tahun terakhir, Cabang Gowa Raya masihlah terjebak dalam lingkaran yang sama; program kerja yang bernas di kertas tapi lenyap di lapangan, serta semangat keberpihakan yang semakin meredup di balik ritual organisasi yang monoton.


Cabang Gowa raya, masihlah eksis dalam kegiatan-kegiatan seremonial, tapi lupa bahwa di sepanjang pesisir Gowa, nelayan belumlah berdaulat secara ekonomi; di pedalaman Takalar, petani sawah kekurangan sebab air irigasi dikuasai PTPN XIV; di kampus-kampus, mahasiswa miskin putus kuliah karena tak sanggup bayar UKT.


Cabang Gowa Raya saat ini bukan lagi membutuhkan ketua umum yang populer. Kita membutuhkan pemimpin puritan—pemimpin yang berani membicarakan Islam konseptual sekaligus mengimplementasikan laku Islam aktual.


Pemimpin yang suportif mustinya menjadikan sekretariat cabang tak sekadar tempat pertemuan pengurusnya saja, tapi ruang yang mengupayakan komisariat-komisariat sejajaran saling terkonsolidasi secara integral.


Kang Jalal pernah berkata: “Perjuangan yang sejati dimulai dari keberanian untuk menjadi minoritas yang benar, bukan mayoritas yang salah.”


Sekarang, saatnya HMI Cabang Gowa Raya membopong minoritas yang benar itu keatas pundak kepengurusannya.


Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl