Oleh: Muh Fauzan AR
Jalaluddin Rakhmat, akrab disapa Kang Jalal, merupakan salah satu cendekiawan Muslim Indonesia paling berpengaruh di akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Aktivis HMI Cabang Bandung pada masa mudanya, dosen, komunikolog, ia meninggalkan warisan pemikiran yang selalu menolak dikotomi antara agama dan realitas sosial.
Bukunya, Islam Aktual: Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim (1989) merupakan salah
satu karya paling fenomenal yang lahir di tengah gelombang reformasi Indonesia.
Buku ini tak sekadar kumpulan esai, melainkan juga seruan tegas agar umat Islam
berhenti berpuas diri dengan Islam
konseptual atau Islam ideal dan
bergerak menuju Islam aktual–yakni
Islam yang hidup, berlaku, dan memberi solusi konkret di tengah masyarakat.
Inti pemikiran Kang Jalal sederhananya
dalam buku ini dapat diringkas dalam dua syarat utama laku berislam yang optimal, yaitu keterbukaan dan keberpihakan.
Keterbukaan berarti kesediaan menerima
ilmu pengetahuan dari segala penjuru tanpa mempertentangkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Kang Jalal menulis bahwa umat Islam hanya akan maju jika
berani keluar dari kungkungan pemikiran sempit mazhab tertentu atau konstruk fikih
yang kaku, dan mau belajar, teknologi, pertanian, psikologi, dan ilmu-ilmu
humaniora secara luas. Keterbukaan ini bukan sekadar toleransi intelektual,
melainkan syarat mutlak kemajuan peradaban.
Keberpihakan yang dimaksud, yakni,
mengubah ilmu menjadi amal nyata dengan memihak kepada yang tertindas, yang
miskin, yang terdiskriminasi. Kang Jalal, menegaskan bahwa ukuran keislaman
seseorang bukan seberapa tebal jenggotnya atau seberapa panjang kajian
fikihnya, melainkan seberapa nyata ia berada di sisi kaum dhuafa.
Di sinilah ia menggemakan prinsip Abu
Dzar al-Ghifari yang kerap dikemukakan, “Dahulukan
akhlak di atas fikih.” Tesis Kang Jalal, fikih tanpa akhlak hanya menjadi
alat kekuasaan; akhlak tanpa fikih bisa kehilangan arah; tetapi akhlak yang
hidup dalam keberpihakan adalah inti Islam yang aktual.
Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Kang Jalal kerap juga mengisahkan Abu
Dzar al-Ghifari yang frontal mengkritik khalifah karena kemewahan, Hatim
al-Ashamm yang saleh namun kritis, serta tragedi Karbala yang menjadi pengingat
bahwa kebenaran sering kali harus dibayar mahal.
Kiranya, apa yang ditulis Kang Jalal, bukanlah
maksud nostalgia (romantisasi) semata, melainkan untuk memantik semangat bahwa
Islam sejati adalah Islam yang berani berhadapan dengan ketidakadilan di
zamannya sendiri.
Kini, sampailah kita pada pertanyaan
yang paling mungkin, khususnya kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); mengapa
perjuangan kita selama ini masih terjebak di tataran ideal semata?
Sejak berdiri di tahun 1947, selalulah
pasti berdiskusi tentang banyak nilai; Khittah Perjuangan, Nilai Dasar
Perjuangan, diskusi panjang tentang Islam dan kebangsaan, negara hukum,
demokrasi, hingga pluralisme. Tentu mahir kita berdebat tentang khilafah versus
negara bangsa, tentang bentuk ideal masyarakat Islam, tentang tafsir-tafsir
Al-Qur’an yang mendalam. Tetapi terlalu sering, semua itu hanya berhenti di
ruang-ruang diskusi, LK, seminar, dan makalah yang tebalnya ratusan halaman,
namun tipis implementasinya.
Inilah yang Kang Jalal sebut sebagai Islam konseptual–Islam yang pepat di
kertas, memukau di mimbar, tapi mati di jalanan.
Jika HMI ingin tetap relevan di abad ke-21,
maka diperlukan lompatan dari Islam ideal
ke Islam aktual ala Jalaluddin
Rakhmat.
Pada ujung refleksi
ini, penulis hendak tertuju pada satu titik yang akrab, yakni perihal HMI Cabang Gowa Raya.
Dalam
kemutakhiran fenomena, tanah kelahiran La Maddukelleng tentu mendamba
upaya-upaya baru dari pemudanya dalam merespons keadaan yang statis. Namun,
selama beberapa tahun terakhir, Cabang Gowa Raya masihlah terjebak dalam lingkaran
yang sama; program kerja yang bernas di kertas tapi lenyap di lapangan, serta semangat
keberpihakan yang semakin meredup di balik ritual organisasi yang monoton.
Cabang Gowa
raya, masihlah eksis dalam kegiatan-kegiatan seremonial, tapi lupa bahwa di
sepanjang pesisir Gowa, nelayan belumlah berdaulat secara ekonomi; di pedalaman
Takalar, petani sawah kekurangan sebab air irigasi dikuasai PTPN XIV; di
kampus-kampus, mahasiswa miskin putus kuliah karena tak sanggup bayar UKT.
Cabang Gowa
Raya saat ini bukan lagi membutuhkan ketua umum yang populer. Kita membutuhkan pemimpin
puritan—pemimpin yang berani membicarakan Islam konseptual sekaligus mengimplementasikan laku Islam aktual.
Pemimpin yang
suportif mustinya menjadikan sekretariat cabang tak sekadar tempat pertemuan
pengurusnya saja, tapi ruang yang mengupayakan komisariat-komisariat sejajaran
saling terkonsolidasi secara integral.
Kang Jalal
pernah berkata: “Perjuangan yang sejati dimulai dari keberanian untuk menjadi
minoritas yang benar, bukan mayoritas yang salah.”
Sekarang, saatnya HMI Cabang Gowa Raya membopong minoritas yang benar itu keatas pundak kepengurusannya.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

